Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan

Makna Kaedah

اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ

Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
  • اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
  • الظَنُّ : persangkaan kuat
    Contoh : apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
  • الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
  • الوَهْمُ : Persangkaan lemah
    Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali , maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam :
  • الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
  • الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui.
(Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah :
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.”
(Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)

Dalil Kaedah

Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh, diantaranya :
Firman Alloh Ta’ala :

وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”
(QS. Yunus : 36)
Hadits Rosululloh :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim : 362)
Imam Nawawi berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”
(Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)

عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata : “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu kepada Rosululloh bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda : “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam Al Khothobi berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.”
(Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim : 571)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

Dari Abdur Rohman bin Auf berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Dari Abdulloh bin Umar berkata : “ Rosululloh bersabda : “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”
(HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”

Kedudukan Kaedah

Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua permasalahan,dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata :
“Para ulama’ telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.”
(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi berkata:
“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.”
(Al Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar berkata :
“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman serta masalah lainnya.”
(Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)

Penerapan Kaedah

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai sebuah contoh :
  • Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
  • Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
  • Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
  • Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
  • Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
  • Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
  • Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
  • Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam

Sumber:  Berupaya Menghidupkan Sunnah di Atas Jalan Nubuwwah
READ MORE - Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan

Bolehkah aku memanggilnya Abi? Dan dia memanggilku Ummi?



Ketika memanggil zaujiy dengan kata "abi" terkadang muncul pertanyaan di benakku "Bolehkah panggilan ini dalam pandangan syariat?". Apakah ini tidak bermakna zhihar (menganggap pasangan  sebagai mahram, sehingga haram untuk dinikahi). Namun sulit juga bagi saya untuk menghindari sapaan ini, begitu juga suami saya memanggil saya dengan sapaan Ummi, dan sapaan ini insyaAllah untuk membiasakan anak-anak memanggil kami dengan kata Ummi Abi. Alhamdulillah ketemu artikel di bawah ini, yang membahas masalah sapaan Ummi dan Abi, mau tahu jawabannya? silahkan dibaca^^...

******

Suami Memanggil ISTRI dengan panggilan UMMI

Bismillaah… walhamdulillah… was sholaatu was salaamu alaa rosuulillaah… wa alaa aalihii wa shohbihii wa maw waalaah…
Berikut ini adalah, fatwa Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang masalah di atas, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis  dan pembacanya:


السؤال: هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط , أو يا أمي بقصد المحبة فقط
فأجاب: نعم , يجوز له أن يقول لها يا أختي, أو يا أمي, وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة, وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات, ولكن لا وجه للكراهة, وذلك لأن الأعمال بالنيات, وهذا الرجل لم ينو بهذه الكلمات أنها أخته بالتحريم والمحرمية, وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها, وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين, سواء كان من الزوج أو الزوجة فإنه أمر مطلوب

Pertanyaan: Bolehkan suami memanggil isterinya “Ya Ukhti” (wahai saudariku) atau “Ya Ummi” (wahai ibuku) karena dorongan kecintaan saja?.

Beliau menjawab: Ya, dibolehkan bagi suami untuk memanggil isterinya dg panggilan “Ya Ukhti”, atau “Ya Ummi“, atau panggilan-panggilan lain yg dapat mendatangkan rasa sayang dan cinta.

Walaupun sebagian ulama me-makruh-kan bila seorang suami memanggil istrinya dg panggilan-panggilan yg seperti ini, namun hukum makruh ini tidaklah tepat, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, dan orang ini tidaklah meniatkan dg panggilan-panggilan itu, bahwa istrinya adalah saudarinya yg diharamkan atau mahrom-nya. Tidak lain ia hanya bermaksud menampakkan rasa sayang dan cintanya, dan setiap sesuatu yg menjadikan/mendatangkan rasa sayang antara dua mempelai, baik dilakukan oleh suami atau istri, maka hal itu adalah sesuatu yg dianjurkan. (Sumber: Fatawa Nurun Alad Darb hal: 19)

Dalam kitabnya Syarhul Mumti’, beliau juga mengatakan:

فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء -رحمهم الله- أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة.

Jika seorang suami mengatakan kepada isterinya: “ya Ummi! Kemarilah, siapkan makan siang”, ini bukanlah “zhihar“.
Namun para ahli fikih -rohimahumulloh- menyebutkan bahwa: di-makruh-kan bagi seorang suami memanggil isterinya dg sebutan mahrom-mahromnya, sehingga tidak boleh baginya memanggil istrinya: “ya Ukhti”, “ya ummi“, “ya binti”, dan yg semisalnya. Perkataan mereka ini tidaklah benar, karena makna dari panggilan itu sudah maklum, bahwa si suami bermaksud memuliakan istrinya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan panggilan-panggilan seperti ini dapat mendatangkan rasa sayang, cinta, dan keakaraban. (Sumber: Syarhul Mumti’ 13/236)

Sekian, wa subhanakalloohumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik…

sumber: ADDARINY'S CENTRE
READ MORE - Bolehkah aku memanggilnya Abi? Dan dia memanggilku Ummi?

8 Manfaat Membaca


Sungguh mengherankan mendengarkan kaum muslimin mengatakan bahwa mereka bosan membaca! Padahal membaca adalah salah satu hobi terbaik yang dimiliki oleh seseorang. Namun sungguh menyedihkan ketika mengetahui bahwa kebanyakan dari kita tidaklah diperkenalkan dengan buku-buku yang menakjubkan dunia. Ini adalah beberapa alasan bagi kita untuk memulai kebiasaan ini… sebelum Anda tertinggal di belakang dalam segala hal.

1. Membaca merupakan proses mental secara aktif. Tidak seperti duduk di depan sebuah kotak idiot (TV, Plasystation, dll), membaca membuat Anda menggunakan otak Anda. Ketika membaca, Anda akan dipaksa untuk memikirkan banyak hal yang Anda belum mengetahuinya. Dalam proses ini, Anda akan menggunakan sel abu-abu otak Anda untuk berfikir dan menjadi semakin pintar.

2. Membaca akan meningkatkan kosakata Anda. Anda dapat belajar bagaimana mengira suatu makna dari suatu kata (yang belum Anda ketahui) dengan membaca konteks dari kata-kata lainnya di sebuah kalimat. Buku, terutama yang menantang, akan menampakkan kepada Anda begitu banyak kata yang mungkin sebaliknya belum Anda ketahui
3. Membaca akan meningkatkan konsentrasi dan fokus. Anda perlu untuk bisa fokus terhadap buku yang sedang Anda baca untuk waktu yang cukup lama. Tidak seperti majalah, internet atau email yang hanya berisi potongan kecil informasi, buku akan menceritakan keseluruhan cerita. Oleh sebab Anda perlu berkonsentrasi untuk membaca. Seperti otot, Anda akan menjadi lebih baik di dalam berkonsentrasi.
4 .Membangun kepercayaan diri. Semakin banyak yang Anda baca, semakin banyak pengetahuan yang Anda dapatkan. Dengan bertambahnya pengetahuan, akan semakin membangun kepercayaan diri. Jadi hal ini merupakan reaksi berantai. Karena Anda adalah seorang pembaca yang baik, orang-orang akan mencari Anda untuk mencari suatu jawaban. Perasaan Anda terhadap diri Anda sendiri akan semakin baik. [Namun ingat, ikhlas tetap merupakan jalan untuk mencapai kesuksesan, dan berhati-hatilah dari sikap merasa bangga diri. Bersyukurlah selalu kepada Alloh atas secuil pengetahuan yang Anda miliki].
5. Meningkatkan memori. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jika Anda tidak menggunakan memori anda, Anda bisa kehilangannya. Teka-teki silang adalah salah satu contoh permainan kata yang dapat mencegah penyakit Alzheimer. Membaca, walaupun bukan sebuah permainan, akan membantu Anda meregangkan “otot” memori Anda dengan cara yang sama. Membaca itu memerlukan ingatan terhadap detail, fakta dan gambar pada suatu literatur, alur, tema atau karakter cerita.
6. Meningkatkan kedisplinan. Mencari waktu untuk membaca adalah sesuatu yang kita sudah mengetahuinya untuk dilakukan. Namun, siapa yang membuat jadwal untuk membaca buku setiap harinya? Hanya sedikit sekali. Karena itulah, menambahkan aktivitas membaca buku ke dalam jadwal harian Anda dan berpegang dengan jadwal tersebut akan meningkatkan kedisiplinan.
7. Meningkatkan kretivitas. Membaca tentang keanekaragaman kehidupan dan membuka diri Anda terhadap ide dan informasi baru akan membantu perkembangan sisi kreatif otak Anda, karena otak Anda akan menyerap inovasi tersebut ke dalam proses berfikir Anda.
8. Mengurangi kebosanan. Salah satu kebiasaan yang saya miliki adalah, apabila saya merasa bosan, maka saya akan mengambil buku dan mulai membacanya. Apa yang saya temukan dengan berpegang kepada kebiasaan ini adalah, saya menjadi semakin tertarik dengan suatu bahasan buku dan saya sudah tidak bosan lagi. Maksud saya, jika Anda merasa bosan, Anda akan merasa lebih baik dengan membaca buku yang bagus, bukan? Jika Anda ingin memecahkan rasa malas yang monoton, dan kehidupan yang tidak kreatif dan membosankan, maka pergi dan ambillah satu buku yang menarik. Bukalah halaman-halamannya dan jelajahi dunia baru yang penuh dengan informasi dan kecerdasan.
Terima kasih telah membaca.

READ MORE - 8 Manfaat Membaca

Berbagai Alasan Enggan Berjilbab

mau pilih yang mana saudariku?


Ketika diri ini dulu belum memahami pentingnya syariat berjilbab (tidak mengetahui bahwa itu adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan), selalu yang ada di pikiranku adalah tidak mengapa dengan penampilanku saat itu. Toh, saya tidak berpakaian minim ,tetap sopan dengan kemeja dan celana jeansku, dan nggak mungkinlah menimbulkan fitnah, astaghfirullaah!! Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah... syukurku kepada Mu Ya Rabb, bahwa Engkau masih Menyayangi hamba-Mu yang jahil ini. Sungguh sebuah kenikmatan ketika akhirnya diri ini dapat mengenakan pakaian taqwa tersebut. 


Ya, berbagai alasan memang sering dilontarkan oleh wanita yang mengaku muslimah namun masih enggan berhijab (semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan juga meneguhkan kita di atas hidayah ini..aamiin) yang semua itu berangkat dari kejahilan akan perkara Dien yang mulia ini. Dan berikut ini ada tulisan menarik yang mengulas beberapa alasan yang paling umum diketengahkan oleh mereka. Semoga dapat memberi pencerahan dan menggugah jiwa-jiwa kita.


******

Berbagai Alasan Enggan Berjilbab


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Kita sudah ketahui bersama bahwa berjilbab adalah suatu hal yang wajib bagi setiap muslimah. Namun seperti itulah wanita, selalu beri berbagai alasan untuk tidak menutup auratnya. Coba perhatikan beberapa alasan mereka:


Pertama: Yang penting hatinya dulu yang dihijabi.

Alasan, semacam ini sama saja dengan alasan orang yang malas shalat lantas mengatakan, “Yang penting kan hatinya.” Inilah alasan orang yang punya pemahaman bahwa yang lebih dipentingkan adalah amalan hati, tidak mengapa seseorang tidak memiliki amalan badan sama sekali. Inilah pemahaman aliran sesat “Murji’ah” dan sebelumnya adalah “Jahmiyah”. Ini pemahaman keliru, karena pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Din dan Islam itu adalah perkataan dan amalan, yaitu [1] perkataan hati, [2] perkataan lisan, [3] amalan hati, [4] amalan lisan dan [5] amalan anggota badan.” (Matan Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ibnu Taimiyah)
Imam Asy Syaafi’i rahimahullah menyatakan,



الإيمان قول وعمل يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.” (Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim)

Jadi tidak cukup iman itu dengan hati, namun harus dibuktikan pula dengan amalan.


Kedua: Bagaimana jika berjilbab namun masih menggunjing.

Alasan seperti ini pun sering dikemukakan. Perlu diketahui, dosa menggunjing (ghibah) itu adalah dosa tersendiri. Sebagaimana seseorang yang rajin shalat malam, boleh jadi dia pun punya kebiasaan mencuri. Itu bisa jadi. Sebagaimana ada kyai pun yang suka menipu. Ini pun nyata terjadi.
Namun tidak semua yang berjilbab punya sifat semacam itu. Lantas kenapa ini jadi alasan untuk enggan berjilbab? Perlu juga diingat bahwa perilaku individu tidak bisa menilai jeleknya orang yang berjilbab secara umum. Bahkan banyak wanita yang berjilbab dan akhlaqnya sungguh mulia. Jadi jadi kewajiban orang yang hendak berjilbab untuk tidak menggunjing.


Ketiga: Belum siap mengenakan jilbab.

Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa nanti jika sudah pipi keriput dan rambut beruban? Setan dan nafsu jelek biasa memberikan was-was semacam ini, supaya seseorang menunda-nunda amalan kebaikan.
Ingatlah kita belum tentu tahu jika besok shubuh kita masih diberi kehidupan. Dan tidak ada seorang pun yang tahu bahwa satu jam lagi, ia masih menghirup nafas. Oleh karena itu, tidak pantas seseorang menunda-nunda amalan. “Oh nanti saja, nanti saja”. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberi nasehat yang amat bagus,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
Jika engkau berada di waktu sore, janganlah menunggu-nunggu waktu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Manfaatkan pula masa hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR. Bukhari no. 6416).

Nasehat ini amat bagus bagi kita agar tidak menunda-nunda amalan dan tidak panjang angan-angan. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali)
Jika tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan besok lagi. Seorang da’i terkemuka mengatakan nasehat 3 M,Mulai dari diri sendiri, mulai dari saat ini, mulai dari hal yang kecil”.
Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber: disini
READ MORE - Berbagai Alasan Enggan Berjilbab

Hukum Bedah dan Otopsi Jenazah Muslim

Penulis: Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf



Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit serta mengobatinya sedini mungkin atau untuk tujuan lainnya adalah dengan membedah jasad mayat manusia. Apakah ini dibolehkan dalam pandangan syara’ ataukah tidak ? Karena praktek ini dilakukan hampir di semua fakultas kedokteran maka dengan memohon taufiq kepada Alloh Ta’ala, saya turunkan pembahasan ini dengan mengacu pada tulisan Lajnah Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi dengan beberapa tambahan.
Tulisan ini saya bagi menjadi beberapa pokok pembahasan :
  • Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati
  • Macam-macam tujuan membedah jenazah
  • Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang masih dalam perut
  • Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa
  • Hukum otopsi jenazah untuk tujuan belajar ilmu kedokteran
  • Hukum membongkar kuburan seorang muslim
Allahumma, tunjukanlah kepada kami jalan yang Engkau ridloi dan jauhkanlah kami dari jalan yang Engkau murkai.

Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati

Termasuk sesuatu yang sangat jelas hukumnya dalam syariat islam adalah kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati. Maka tidak boleh membunuh, melukai dan menyakitinya serta tidak boleh mematahkan tulang atau mencincang tubuhnya setelah dia meninggal. Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya :
1. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan Alloh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
(QS. An Nisa’ : 93)
2. Dari Ibnu Umar berkata :
“Rosululloh bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada TuhanYang Berhak disembah kecuali Alloh dan Muhamad adalah utusan Nya, mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Maka apabila mereka melaksanakannya niscaya akan terjada darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab mereka pada Alloh.”
(HR. Bukhori 1/70, Muslim 22)
3. Dari Abdulloh bin Mas’ud berkata :
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Alloh dan saya adalah utusannya kecuali dengan karena tiga perkara : 1. Orang yang membunuh maka diqishos, 2. Orang yang pernah menikah lalu berzina, 3. Orang yang murtad dari agama (islam) dan meninggalkan jamaah.”
(HR. Bukhori Muslim)
4. Dari Aisyah berkata :
“Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah meninggal seperti mematahkan tulangnya saat dia masih hidup.”
(HR. Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Baihaqi 4/58, Ahmad 6/58 dengan sanad shohih, lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 295)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : “Hadits ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah dia meninggal sama sebagaimana tatkala dia masih hidup.”

Macam-macam tujuan membedah jenazah

Dilihat dari tujuannya praktek bedah dan otopsi mayat ada beberapa macam. Namun yang paling sering dilakukan ada tiga macam, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
    Untuk keperluan ini seorang dokter melakukan otopsi jenazah. Apakah memang dia meninggal karena tindakan kriminalitas atau karena mati biasa, kalau memang karena tindakan kriminalitas maka akan dicari tanda-tanda yang memungkinkan akan bisa mengungkap siapa pelakunya. Namun jika meninggal dengan cara yang wajar maka berarti tidak perlu dicari pelakunya atau kalau mungkin sudak ditangkap pihak kepolisian bisa segera di bebaskan.
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian secara umum
    Dengan otopsi ini seorang dokter bisa mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian pasien, sehingga kalau memang ini adalah sebuah wabah dan dikhawatirkan terjangkit pada masyarakat lainnya bisa segera dilakukan tindakan preventif agar tidak menyebar.
  • Otopsi untuk keperluan praktek ilmu kedokteran.
    Otopsi ini diperlukan mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia. Ini sangat diperlukan sekali agar bisa mengetahui adanya penyakit pada organ tubuh tertentu secara tepat.
    Dan masih banyak tujuan-tujuan lain.
Secara umum hukum dari masalah ini berangkat dari apakah otopsi jenazah seorang muslim itu memang terpaksa harus dilakukan ? karena pada dasarnya tidak boleh melukai, mematahkan tulang dan lainnya dari jasad seorang muslim berdasarkan hadits Aisyah diatas terkecuali kalau memang dalam keadaan dlorurot harus melakukan itu maka boleh dilakukan berdasarkan firman Alloh Ta’ala tentang makanan yang haram dimakan :
“Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al Baqoroh : 173)
juga berdasarkan sebuah kaidah fiqh yang masyhur bahwasannya keadaan dlorurot (terpaksa) itu bisa menghalalkan sesuatu yang haram.
Namun untuk memprediksikan apakah ini sudah dalam keadaan dlorurot ataukah belum sering terjadi perbedaan pandangan diantara para ulama’ yang menjadikan merekapun berselisih dalam hukumnya. Untuk lebih jelasnya, kita bahas satu persatu permasalahan yang ada :
Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya.
Apabila ada ibu meningal dunia dalam keadaan mengandung sedangkan bayi yang dikandungnya masih hidup, para ulama berselisih apakah harus di bedah perut ibu atau bagaimana?
Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. (Lihat Syarah Mukhtashor Kholil Syaikh Ahmad Dirdir dan Al Inshof Imam Al Mardawi 2/556, Kasyaful Qina’ 2/130).
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas.
Rosululloh bersabda : “Mematahkan tulang orang mu’min yang telah meninggal sama seperti mematahkan tulang seorang mu’min yang masih hidup.” Juga karena Rosululloh melarang untuk mencincang mayat.
Namun Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya. (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab Imam Nawawi 5/301, Al Muhalla 5/166) Dan ini adalah madzhab yang Rojih insya Alloh.
Berkata Syaikh Rosyid Ridlo menanggapi madzhab Imam Malik dan Ahmad :
“Berdalil dengan hadits Aisyah untuk membiarkan bayi yang masih hidup dalam perut ibu sampai meninggal adalah sesuatu yang aneh bila ditinjau dari dua segi :
  • Bahwasannya membedah perut tidak akan mematahkan tulangnya.
  • Bahwasannya hidupnya janin apabila telah sempurna bentuknya lalu dikeluarkan dengan jalur oprasi bedah. Hal ini sering terjadi. Dari sini ada dua hal yang bertentangan antara menyelamatkan nyawa bayi itu ataukah menjaga kehormatan sang ibu untuk tidak dilakukan pembedahan dan mematahkan tulangnya ? tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan pertana itulah yang lebih rajih. Ditambah lagi bahwasannya pembedahan perut sang ibu untuk tujuan ini bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut.”
Berkata Syaikh Al Albani :
“Apa yang dipilih oleh Syaikh Rosyid Ridlo adalah madzhab Syafi’iyah sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa ini adalah madzhab Abu Hanifah dan jumhur ulama’ juga madzhab Ibnu Hazm dan ini adalah sesuatu yang benar Insya Alloh.”
(Lihat Ahkamul Janaiz hal : 297)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla :
“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”

Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa

Jika ada seseorang dalam keadaan sangat kelaparan yang mana kalau tidak makan akan meninggal dunia lalu dia tidak menemukan apa-apa kecuali daging mayat manusia, maka para ulama’ berselisih pendapat apakah boleh baginya memakan dagingnya ataukah tidak ?
Berkata Imam Nawawi :
“Boleh memakan daging manusia yang tidak ma’shum,(1) semacam orang kafir harbi,(2) orang murtad, pezina muhshon dan lainnya. Adapun orang yang terjaga kehormatannya seperti mayat muslim, kafir dzimmi atau musta’man (3) maka haram memakan daging mereka. Terkecuali kalau memang tidak mendapatkan apa-apa kecuali daging mayat manusia yang ma’shum maka dibolehkan memakan dagingnya.”
(Lihat Roudlotut Tholibin 2/284 dengan ringkas)
Berkata Syaikh Ahmad Dirdir :
“Tidak boleh bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakan daging manusia meskipun mayat itu orang kafir. Namun Imam Ibnu Arafah membolehkannya.”
(Lihat Syarah Kabir Ala Mukhtashor Al Kholil 1/)
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Ulama’ madzhab Hambali mengharamkan memakan daging manusia yang ma’shum karena kehormatannya meskipun dalam keadaan terpaksa, namun boleh memakan daging mayat orang kafir harbi dan orang murtad karena keduanya tidak memiliki kehormatan baik dia temukan dalam keadaan sudah meninggal atau dia membunuhnya terlebih dahulu. Imam Syafi’I dan sebagian Hanafiyah berkata : “boleh memakan daging manusia ma’shum.” Dan pendapat inilah yang lebih benar karena kehormatan orang yang masih hidup lebih utama daripada kehormatan yang telah meninggal.”
(Al Mughni 11/79 dengan ringkas dan lihat pula Al Inshof oleh Al Mardawi 10/376)
Berkata Imam Ibnu Hazm :
“Semua yang diharamkan baik berupa makanan ataupun minuman seperti babi, binatang buruan di daerah haram, bangkai, darah, daging binatang buas, khomer dan lainnya kalau dalam keadaan terpaksa menjadi halal untuk memakannya selain daging manusia, maka tidak boleh memakannya baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak karena kewajiban terhadap mayat adalah menguburnya yang berarti haram diperlakukan dengan selainnya.”
(Al Muhalla 5/426)

Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran

Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Alloh telah menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah
“Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya”
(Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)
Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat.
Semua ini kalau bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih kuat masalahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak ?
Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka prektek bedah semacam ini diperbolehkan. Wallahu A’lam
Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?
Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa Kibarul Ulama’ hal :48-67)
Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang keharaman membongkar kuburan muslim :
“Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas kedokteran yaitu : “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran ?
Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh terhadap lainnya.
(Ahkamul Janaiz hal : 299)
Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.
Jawab :
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
  • Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
  • Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran
Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh bersabda :
“Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”
Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum, maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum. Wallahul Muwaffiq.

Faedah :

Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah :

Hukum membongkar kuburan muslim

Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 298)
Berkata Imam Nawawi :
“Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syar’I. Dan dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu. Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.”
(Al Majmu’ :5/303)
Berkata Syaikh Al Albani :
“Dengan ini dapat diketahui haramnya perbuatan yang dilakukan sebagian pemerintah muslim yang mana mereka membongkar kuburan muslim untuk dijadikan perumahan atau lainnya.”
(Ahkamul Janaiz hal : 198)
Namun jika kuburan itu kuburan orang-orang kafir maka sama sekali tidak dilarang membongkar kuburan mereka, karena mereka sama sekali tidak punya kehormatan, berdasarkan mafhum mukholafah dari hadits Aisyah tersebut diatas. Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik yang sangat panjang yang intinya :
“Tatkala Rosululloh datang ke kota madinah, beliau memerintahakn untk membangun masjid dan beliau mendapatkan tanah wakaf dari Bani Najjar yang didalamnya ada kuburan orang-orang musyrik maka Rosululloh memerintahkan untuk membongkar kuburan itu dan meratakannya.”
(HR. Bukhori Muslim)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar :
“Dalam hadits ini terdapat hukum dibolehkannya mengelola tanah kuburan yang didapat lewat hibah atau jual beli, juga boleh membongkar kuburan tua apabila tidak ada kehormatannya juga dibolehkan sholat di bekas kuburan orang-orang musyrik setelah dibongkar dan dikeluarkan isinya juga dibolehkan membangun masjid ditanah tersebut.”
Wallahu A’lam
_______________________________________




  • (1) Ma’shum disini berarti orang yang terjaga harta, jiwa dan kehormatannya, dalam artian tidak boleh dibunuh, dirampas hartanya kecuali dengan haknya. Mereka adalah orang islam dan orang kafir yang tidak memerangi ummat islam. (Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 56


  • (2) Yaitu orang-orang kafir yang memerangi ummat islam, mereka boleh dibunuh dimanapun berada sebagaimana firman Nya : “Dan bunuhlah mereka dimanapun kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqoroh : 191)


  • (3) Yaitu orang kafir yang hidup di negri muslim, mereka tunduk dan patuh kepada pemerintah muslim dan membayar jizyah, sebagaimana firman Alloh surat At Taubah : 29
    Kafir Musta’man adalah orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan daro orang islam. Keduanya haram dibunuh dan di rampas hartanya.


  • READ MORE - Hukum Bedah dan Otopsi Jenazah Muslim

    Aplikasi "Muslim Kids Series: Dua" Hadir di Market Android!

    "Muslim Kids Series: Dua" di Market Android


    Kemarin pas lagi buka situs yufid.org, saya lihat ada aplikasi menarik buat anak-anak, namanya Muslim Kids Series: Dua tapi untuk I-Phone.  Saat itu suami ada di samping saya, beliau lalu bilang kalau aplikasi ini juga sudah tersedia untuk android.

    Karena tertarik dan penasaran dengan aplikasi ini, GPL ( Gak Pak Lama... hehe) saya langsung ngambil hp Galaxy Mini saya, segera buka market dan nyari aplikasi itu. Alhamdulillah ketemu :). Tapi pas download aplikasinya, agak kaget juga ternyata ukuran filenya lumayan besar sekitar 12 Mb, ah nggak apa-apa, toh kemampuan Galaxy Mini dipadu dengan layanan unlimited dari Telkom*** nggak diragukan lagi insyaAllah mantabss (bukan promosi yaa hehe), Hsdpa bo! (Jangan tanya saya apa hsdpa itu yaaah... silahkan googling ajah...wkwkwk).  Lumayan lama waktu downloadnya, maklum quota paket data unlimited saya sudah sampai titik 0, tapi tetap lancar jaya, walaupun butuh waktu, alhamdulillah akhirnya selesai juga downloadnya dan sukses ter-install di my Mini.

    Wow benar-benar aplikasi yang menarik, Muslim Kids Series: Dua, oh ya kata Dua disini bukan menunjukkan sekuel ya, tapi ini adalah ejaan dalam bahasa Inggris untuk Doa (bahasa Indonesia). Ini adalah aplikasi buatan anak negeri asli, dari Perusahaan Yufid.Inc. For your information ( halaah sok ngelinggis pula...hehe), untuk I-Phone, aplikasi ini saat baru beberapa hari launching langsung masuk Top Free di App Store, dan ini adalah aplikasi kedua dari Yufid yang masuk Top Free di App Store (sebelumnya app KBBI di iPhone dan iPad selama sebulan).

    Aplikasi ini benar-benar dibuat untuk disukai anak-anak, dengan tampilan yang ringkas dan mudah digunakan, serta gambar-gambar yang menarik untuk setiap doanya, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Ok, untuk lebih jelasnya coba saja lihat tampilan dari aplikasi ini, yang saya ambil dari Galaxy Mini saya ^^.

    halaman awal dalam bahasa Inggris


    tampilan halaman awal dalam bahasa Indonesia

    Jika salah satu gambar di atas disentuh, maka akan memunculkan halaman yang lebih detail yang berisi teks arab doa yang sesuai beserta dengan terjemahannya. Berikut, salah satu tampilan halaman detailnya untuk  doa berbuka puasa.

    tampilan halaman untuk doa berbuka puasa

    Jika teks doa tersebut kita klik, maka akan terdengar suara seorang anak kecil yang sedang membacakannya.Oh ya, teks terjemahannya tersedia dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

    Ok, tunggu apa lagi, bagi muslim pengguna Android dan I-Phone sangat layak memiliki aplikasi ini, karena ini juga cocok bagi orang dewasa lho, masa kalah sama anak kecil hehe. Alhamdulillah tiga putri saya suka banget sama aplikasi ini, tapi harus diawasin, maklum masih kecil-kecil, bisa mencet sembarangan, dan bisa-bisa banyak file di hp yang berantakan :p.

    referensi: disini
    READ MORE - Aplikasi "Muslim Kids Series: Dua" Hadir di Market Android!

    Yang Mau Komentar, Silahkan...^^

    Fiuuh... akhirnya dapat juga template cantik ini (yang saya pakai buat blog saya sekarang ini, cantik kaaan^^), nemunya disini. Di situs itu banyak banget nyediain ribuan template yang cantik-cantik dan keren-keren buat buat blog kamu, cepetan ditengok...hehe.

    Sudah selesai beres-beresin blognya, saya berniat mau membalas komentar dari Ummu Yusuf Abdurrahman, teman baruku di dunia maya (berharap bisa kopdar suatu saat...aamiin), tapi ... oh tidakkk (histeris mode on, di dalam hati aja loh yaa xixixi)!! Apa yang terjadi pada blogku??!! Tak bisa menampilkan kolom komentar...hiksss. Diriku termenung, terdiam seribu bahasa (hahaha... lebaaayyyy, bisa-bisanya ngitung, wong bisanya bahasa Indonesia thok!! eitss diriku bukan orang jawa loh yaa.. ini pengaruh pergaulan dengan komunitas teman-teman kuliah yang mayoritas suku Jawa, dulu waktu di Kota Gudeg).

    Sempat terlintas di benakku untuk ganti template lagi, tapi gak semudah itu. Ganti template itu membutuhkan waktu dan melelahkan, ibarat rumah sudah dibangun, eeeh mau dibongkar lagi...cape' deeh. Kembali berpikir, meras otak (emangnya cucian pake diperas-peras...hehe). Ahaaa... ketemu juga jalan pintasnya, kenapa diriku melupakan mbah Google, yang selalu setia menemani diriku di dunia maya, selalu bersedia ditanya-tanya, satu pertanyaan Si Mbah akan ngasih ratusan bahkan ribuan jawaban...hehe, thanks ya Mbah.


    Dan inilah jawaban si Mbah ketika diriku mengajukan kata kunci "Cara Menampilkan Komentar Pada Setiap Postingan Di Blogspot ketika Menggunakan Template Pihak Ketiga" (yah begitulah kira-kira kata kuncinya, panjang banget ya..hehe), si Mbah merespon dengan memberikan link-link tutorial yang berkaitan dengan tips-trik blogger. Aku coba membuka salah satu linknya, tepatnya link yang ini, dan alhamdulillah akhirnya problem solving dah^^. 


    Ada yang punya masalah seperti saya? Silahkan kunjungi link di atas... insyaAllah bisa diatasi.
    Siiip dah.... sekarang gak pusing lagi, okaaay yang mau komentar silahkan, tapi jangan buang waktu anda dengan meninggalkan spam yah... jazaakumullaahulkhoyr (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan)

    READ MORE - Yang Mau Komentar, Silahkan...^^

    yang kurasa...

    sahabat sejati...
    setiap kali engkau berbenah hendak ke negeri seberang
    tuk tunaikan tugasmu... 
    ada ribuan rasa sepi menyergap jiwaku
    yang menari-nari berpadu dengan senyapnya hatiku...
    beberapa saat dirimupun berlalu...
    keheningan itu semakin nyata
    di luar sana ramai...
    di sisiku pun ramai dengan tawa dan pekikan putri-putri kita
    tapi semua tak terasa sempurna ...
    tak bisa kunikmati sepenuhnya tanpamu
    aku tahu akan tiba saatnya perpisahan kita di dunia...
    tapi itu semua rahasia Allah...
    dan saat ini aku tak pernah usai mengharapkan keselamatanmu
    agar engkau dapat kembali kepada kami dengan senyum ceriamu...
    untukmu duhai sahabat sejatiku... 

    "zawwadakallaahu attaqwa, wa ghofaro dzanbaka, wa yassaro laka alkhoyroo haitsu maa kunta.. aamiin"
    READ MORE - yang kurasa...

    Kapankah Wanita Mulai Sholat Zhuhur di Hari Jumat?

    Kita telah mengetahui bersama bahwa shalat Jumat tidaklah wajib bagi muslimah. Sebagai gantinya, ia melaksanakan shalat Zhuhur (empat rakaat) di rumahnya. Seringkali ditanyakan oleh para wanita, kapan mulainya shalat Zhuhur tersebut? Apakah ketika telah masuk waktu Zhuhur atau barangkali menunggu sampai shalat Jumat para pria di masjid selesai? Moga artikel sederhana ini bisa sebagai jawaban.

    Al Lajnah Ad Daimah di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,

    “Apa hukum menunaikan shalat jumat bagi wanita? Apakah ia melaksanakannya sebelum atau sesudah shalat para pria atau ia shalat bersama mereka (kaum pria)?”

    Jawaban yang disampaikan oleh para ulama komisi fatwa Al Lajnah Ad Daimah,

    “Wanita tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at. Namun jika wanita melaksanakan shalat Jumat bersama imam shalat Jumat, shalatnya tetap dinilai sah. Jika ia shalat di rumahnya, maka ia kerjakan shalat Zhuhur empat rakaat. Ia boleh mulai mengerjakan shalat Zhuhur tadi setelah masuk waktu Zhuhur, yaitu setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal). Dan sekali lagi dia tidak boleh laksanakan shalat jumat (di rumah) sebagaimana maksud keterangan sebelumnya.

    Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”

    Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.

    [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 8/212, no. 4147, pertanyaan kedua]



    Kesimpulannya, seorang wanita boleh melaksanakan shalat Zhuhur saat hari Jumat di rumah mulai sejak masuk waktu Zhuhur, tidak mesti menunggu sampai para jamaah pria selesai menunaikan shalat Jumat. Hal yang sama berlaku bagi orang yang udzur tidak bisa melaksanakan shalat Jumat seperti orang yang sakit.



    Semoga sajian singkat ini menjadi ilmu bermanfaat bagi pengunjung setia rumaysho.com sekalian. Wallahu waliyyut taufiq.



    Riyadh-KSA, 7 Rajab 1432 H (08/06/2011)

    Sumber: www.rumaysho.com
    READ MORE - Kapankah Wanita Mulai Sholat Zhuhur di Hari Jumat?

    Granada


    Letak geografis:
    Granada terletak di sebelah selatan kota Madrid, ibu kota Spanyol sekarang. Iklimnya sangat bagus, karena itulah dinamakan Granada. Dalam bahasa Romawi granada berarti bagus dan indah. Dari sebelah selatan, berbatasan dengan Laut Tengah dan sungai Shaniel. Tingginya lebih kurang 669 m. di atas permukaan laut. Di sinilah letak rahasia keindahannya.

    Ketika kaum Muslimin memasuki Granada, sewaktu penaklukan Andalusia (Spanyol sekarang), kota ini telah selesai dibangun di atas puing sebuah kota kecil yang bernama Albery. Di kemudian hari Granada menjadi ibu kota negara Dinasti Bani Ahmar.




    Granada pernah menjadi pusat ilmu keislaman terbesar dan salah satu mata rantai kebudayaan Islam yang mencakup kota-kota lain
    seperti, Kordoba, Valensia, Megrit, Asbilia, Toledo dan lain-lain.

    Sebagai kiblat ilmu pengetahuan, para penuntut ilmu dari daerah-daerah tetangga, baik yang Islam maupun yang bukan banyak berdatangan. Ketika itu terkenal sekolah Yusufiah, sekolah Nasriah dan lembaga-lembaga pendikan lain.

    Kebangkitan ilmiah di Andalusia bersamaan dengan munculnya ahli ilmu falak dan matematika Abul Qasim Al-Magrity (397 H. / 1008 M.) yang mendirikan sekolah matematika terkenal.

    Objek wisata:
    Setelah posisi Bani Ahmar menguat di Granada dan di sebuah bukit di sebelah timur lautnya, mereka mulai membangun pondasi kota atau istana Alhambra. Pada mulanya, Alhambra hanya merupakan benteng sederhana hingga Badis bin Habbus, menjadi raja Granada. Dialah yang membuatnya sebagai pusat pemerintahan dan membangun pagar tinggi di sekeliling bukit itu. Dengan perjalanan waktu Alhambra menjadi benteng Granada yang kuat. Sebab penamaannya dengan Alhambra adalah karena batu-batu yang dipakai untuk membangunnya berwarna merah (dari kata al-hamra = merah).

    Hal lain yang membedakan Alhambra dengan tempat-tempat lain adalah mesjid-mesjidnya. Mesjid jami Alhambra adalah mesjid yang paling bagus dan indah. Terkenal dengan banyaknya marmer yang dipakai untuk membangunnya. Juga rumah sakit-rumah sakit yang ada di dalamnya, seperti rumah sakit Granada atau rumah sakit kota.


    Tokoh Granada yang paling terkenal:
    Granada terkenal dengan cendekiawannya di berbagai disiplin ilmu. Yang paling terkenal adalah: Imam As-Syathibi, Lisanudin Al-Khathib, Sarqisthi, Ibnu Zumrak, Muhammad bin Raqqah, Abu Yahya bin Radwan, Abu Abdillah Al-Fahham, Ibnus Syarrah, Yahya bin Hazil At-Tajbibi, As-Syaquri, Ibnu Zuhr dan dari kalangan wanita;H afshah bintil Haj, Hamdunah binti Ziad dan saudarinya, Zainab.

    sumber: vbaitullah
    READ MORE - Granada

    Haram / Halal Daging biawak…?

    Pernakah melihat biawak? atau bahkan memakannya? Haram atau halalkah daging biawak?
    Banyak orang yang menyamakan biawak dengan DHABB (hewan reptil padang pasir), padahal kedua binatang tersebut berbeda.. Islam membolehkan memakan Dhabb akan tetapi Islam melarang atau mengharamkan memakan daging Biawak.. Berikut tulisan megenai perbedaan keduanya beserta dalil mengapa biawak Haram untuk dikonsumsi. 

    Beda DHABB dengan BIAWAK
    Untuk mengetahui apa itu dhabb, pembaca -semoga diberkahi Allah- bisa membuka Kitab Al Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya . Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhabb terlebih lagi pada kitab yang pertama, disana kita bisa mengetahui banyak tentang dhabb.
    Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
    - Dhabb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
    - termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
    - termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
    - umurnya panjang,
    - sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
    - warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
    - tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
    - ekor adalah senjatanya,
    - gigi-giginya tumbuh berbarengan,
    - mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
    - sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
    - hewan yang dimakan hanya belalang,
    - terkadang memakan anaknya sendiri,
    - makan tetumbuhan sejenis rumput,
    - menyukai kurma,
    - sebagian orang arab merasa jijik dengannya.

    Pernah pada suatu kesempatan saya bertanya kepada Syaikhuna Shalih Abdul Aziz Al Ghusn (hafizhahullah),
    Seperti apa dhabb itu?,
    beliau menjawab: “dhabb adalah hewan barr (padang pasir) yang berjalan diatas perutnya”.
    Apakah dhabb bertaring?,
    beliau menjawab: “dhabb tidak bertaring, hewan ini memakan rerumputan dan tidak meminum air, dan sebagian orang memakan dagingnya”.

    APA ITU BIAWAK?
    Berbeda dengan dhabb, diantara keterangan tentang biyawak adalah sebagai berikut:
    - biyawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil,
    - hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai,
    - bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya,
    - makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora,
    - dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,
    - ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya.
    Penulis sengaja tidak mencari referensi tentang apa itu biyawak dari kamus-kamus binatang, dikarenakan penulis pernah langsung memelihara hewan tersebut.

    DAGING DHABB HALAL DIMAKAN

    Berikut ini adalah beberapa hadits yang menjadi dalil akan kehalalan daging dhabb :

    عن ابْن عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم:
    (الضَبُّ لَسْتُ آكِلَهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).


    Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: telah bersabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
    “Aku tidak memakan dhabb dan aku tidak mengharamkannya.”

    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ:
    أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوْذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ، فَقَالُوْا: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: (لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ). قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

    Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-, dari Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya-: bahwasanya ia bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke rumah Maimunah -semoga Allah meridhainya-, lalu didatangkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- daging dhabb panggang, kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melayangkan tangannya kearah daging tersebut, lalu sebagian kaum wanita berkata:
    “Beritahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya”,
    maka para sahabat berkata:
    “Wahai Rasulullah! Itu adalah daging dhabb”,
    kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat tangannya, lalu aku -Khalid- bertanya: “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?”,
    kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
    “Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya”,
    Khalid berkata:
    “Aku pun mengambilnya lalu memakannya dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya”.

    عَنِ ابْنِ عُمَرَ. قَالَ:
    سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ؟ فَقَالَ:
    (لاَ آكِلُهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).


    Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata:
    “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya ketika sedang berada di atas mimbar tentang memakan dhabb, lalu Beliau menjawab:
    “Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya”.

    عن ابْن عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ. وَأُتُوْا بِلَحْمِ ضَبٍّ. فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ.
    فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (كُلُوْا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ. وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِيْ).


    “Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-: bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama beberapa orang dari sahabatnya -semoga Allah meridhai mereka-, diantaranya adalah Sa’d. Didatangkan kepada mereka daging dhabb, lalu ada seorang wanita berteriak:
    “Itu adalah daging dhabb”,
    kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
    “Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku”.

    DAGING BIAWAK HARAM DIMAKAN

    Berbeda dengan dhabb, dikarenakan biyawak termasuk dari jenis hewan buas dan bertaring, maka masuk kepada larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits-hadits berikut ini:

    عَنِ الزُّهْرِيْ:
    نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

    Dari Az Zuhri:
    “Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”.

    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.


    Dari Abu Tsa’labah Al Khusyni:
    “Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk memakan setiap yang bertaring dari hewan buas”.

    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ :
    عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ (كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ).

    Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda:
    “Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram”.

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ. وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.

    Dari Ibnu ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-:
    “Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan dari setiap burung yang bercakar (yakni untuk dimakan.pent)”.

    Kesimpulannya, bahwa kata dhabb dalam bahasa arab tidak bisa kita artikan biyawak dalam bahasa Indonesia, karena keduanya adalah hewan yang saling berbeda. Dan kita di Indonesia tidak bisa mendapatkan satu ekor pun dhabb, karena memang disini bukanlah habibatnya. Sehingga kita ketahui dengan dalil-dalil yang ada bahwa daging dhabb halal untuk dimakan, adapun biyawak tidak, yakni daging biyawak haram untuk dimakan karena masuk pada hewan bertaring yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk memakannya.
    Semoga risalah ini menjadi secercah sinar yang bermanfaat untuk kaum muslimin.
    Wal ‘ilmu ‘indallah, wallahu a’lam bish shawab.

    Yang senantiasa mengharap ridha dan ampunan Rabbnya,

    Syuhada Abu Syakir AlIskandar AlJawaghy AsSalafy
    Hayy Ar Royyan, Ad Da`iriy Asy Syarqiy, Riyadh, KSA.

    Disarikan dari: http://adhwaus-salaf.or.id/2010/02/11/halalkah-daging-biyawak/ 


    Sumber: AlMalanji
    READ MORE - Haram / Halal Daging biawak…?

    Kupotret Rindu Yang Tak Bertunas


    Harus jujur kuakui, sulit bagiku tuk definisikan kata rindu. Namun kuserahkan saja jemariku menari untuk menyulam beberapa kalimat agar mengungkapkan apa yang kuketahui tentang rindu itu sendiri.

    Siapapun berhak memberikan pandangan tentang rindu. Aku berpikir, kata rindu itu sendiri bersifat umum. Dan akan benar-benar bermakna serta bersifat khusus sekiranya disertai obyek yang dirindu. Obyek tersebut bisa nyata ataupun abstrak tergantung subyek atau sosok yang sedang merindu.

    Tak salah pula sekiranya kututurkan bahwa rindu adalah sebuah kata kerja bagi hati. Ia bukanlah kata kerja bagi anggota badan yang walaupun anggota badan kerap kali tergerak untuk melakukan sesuatu sebagai respon dari rindu itu sendiri..

    Rasanya sulit jua bagiku memandang rindu sebagai sebuah “penyakit”. Namun begitu, tak mudah pula kupandang rindu sebagai reaksi jiwa yang “sehat”. Bagaimana tak kuucap demikian, cobalah engkau rasakan atau bisa jadi detik ini sedang engkau rasakan letupan-letupan rindu yang bergejolak. 

    Percikan Rindu Di Sudut Hati

    Awalnya, rindu mungkin masih tak “liar” dan sedang terlelap nyenyak di sudut ruang hati. Seiring detik berdetak, pemiliknya sering tak tersadar, angin sejuk dari manakah yang jadikan rindu itu terbangun. Tak pula diketahui, mimpi manakah yang jadikan rindu itu tiba-tiba terjaga.

    Seiring waktu pula, rindu semakin bereaksi dan “mengamuk” serta berkecamuk hebat di hati. Pada saat yang sama, terbisiklah telinga untuk segera mendengar hal-hal yang rindu inginkan. Tersapalah lidah untuk berbicara. Terayulah mata untuk memandang. Tergodalah jiwa tuk rasakan hal-hal yang ingin dikenang.


    ♥ Obati Rindu

    Saat-saat seperti itulah kukatakan rindu sebagai “penyakit”. Walau tak bersifat medis, ia pula terkadang timbulkan gejala-gejala lain yang menyebabkan si empunya terbaring sakit. Karena itu, sudah seharusnya rindu itu diobati. Dan hanya perjumpaanlah yang menjadi penawar sekaligus obat utamanya.


    ♥ Potret-Potret Rindu

    Ada banyak potret-potret kerinduan yang bertaburan dalam kehidupan. Siapa yang tak pernah merindu, bisa dipastikan tak ada cinta yang ia semburatkan karena rindu tumbuh seiring suburnya tunas-tunas cinta.

    ***
    Dulu, ketika engkau bayi dan ditinggal sebentar sang ibu, tangisanmu langsung meledak dan serpihannya menusuk hati sang ibu. Terkumpul bermacam rindu darimu untuk ibu. Kau rindukan air susunya. Kau rindukan pelukan hangatnya. Kau rindukan suaranya. Kau rindukan belaian sayangnya.

    Begitu pun sang ibu, pada saat yang sama, ia rindukan imut wajahmu. Ia rindukan candaanmu. Ia rindukan segalanya yang ada padamu.

    ***
    Mari sejenak intip sang ayah yang sedang bekerja seharian di luar rumah. Di tengah fokusnya menyelesaikan tugas, rindu pun datang bertandang. Ia rindukan anak dan istri di rumah. Ia rindukan canda si kecil di beranda. Ia rindukan sentuhan lembut kekasih hati. Ia rindukan racikan masakan kesukaan yang selalu terhidang. Hati begitu ingin cepat pulang.


    ***
    Seorang wanita pun begitu sensitif disapa oleh rindu. Karena tak tundukan pandangan atau tak menjaga etika syari bermu’amalah, wajah seorang laki-laki pun berhasil terekam melalui mata kemudian ditransfer dan tersimpan dalam pikirannya. Lelaki itu miliki titik-titik pesona dan mampu ditangkap sang wanita.

    Itulah yang menjadikan sang wanita terbalut rindu penuh harap dalam alam lamunannya. rindu menjadikan telaga air matanya bergelombang riuh hingga terbulir bening bak kristal menyusuri pipi.


    ***
    Terlebih lagi bagi mereka baik laki-laki maupun wanita yang diberikan hidayah oleh Allah untuk lepas dari hubungan tak jelas dan haram yang bernama pacaran. Datanglah rindu mencandai dua insan itu. Mereka kenang masa-masa “indah” yang telah berlalu. Syaitan pun beraksi untuk mengikis hidayah yang telah mereka raih. Ujung-ujungnya, kembali mereka jalin jalinan hingga dosa-dosa maksiat kembali tertabung.


    ***
    Dan beberapa hari lagi, salah satu kerinduan orang-orang beriman akan terobati dengan datangnya bulan Ramadhan. Tamu agung yang dinanti-nanti. Di bulan itulah orang-orang beriman menabung limpahan pahala dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas amal. Mendekati hari pertama puasa, rindu mereka memuncak. Sebelas bulan sudah berlalu dan pada saat itu mereka rindukan nikmatnya beribadah, mereka rindukan suasana berbuka puasa, mereka rindukan suasana sahur penuh berkah, dan pula, mereka rindukan tetesan-tetesan air mata kala berdoa dan bersujud di hadapan ar-Rahman ..




    Baiklah, kutitip rindu buat anda semua. Semoga kan kita bersua di taman-taman surga. Amiin ya mustajiba sa ilin.



    Penulis: Fachrian Almer Akiera

    Artikel www.remajaislam.com

    sumber: remajaislam
    READ MORE - Kupotret Rindu Yang Tak Bertunas

    Hadiah di Hari Lahir (7), Waktu Pelaksanaan Aqiqah

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

    Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa hal lainnya. Semoga bermanfaat.

    Waktu Pelaksanaan Aqiqah

    Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,

    عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »

    Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


    Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?

    Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]

    Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?

    Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

    وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها

    “Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

    تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

    “Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

    Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).

    Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.

    Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?

    Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.

    Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.

    Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.

    Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.

    Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

    Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]

    Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.

    Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.

    Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.

    Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?

    Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”

    Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]

    Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”

    Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”

    Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8]

    Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak

    An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]

    Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11]

    Mengundang Makan-Makan Aqiqah

    Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]

    Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.

    Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”

    Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13]

    Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah


    Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14]

    Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]

    Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]

    Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi


    Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.

    Dari Buraidah, ia berkata,

    كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.

    “Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

    Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com.

    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.



    Diselesaikan di Panggang-GK, 7 Rajab 1431 H, 20/06/2010

    Artikel www.rumaysho.com

    Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

    [1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.

    [2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.

    [3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.

    [4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.

    [5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.

    [6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.

    [7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11

    [8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42

    [9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.

    [10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.

    [11] Kifayatul Akhyar,hal. 706

    [12] Idem

    [13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.

    [14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.

    [15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.

    [16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384

    sumber: rumaysho.com
    READ MORE - Hadiah di Hari Lahir (7), Waktu Pelaksanaan Aqiqah

    Hadiah di Hari Lahir (6), Jumlah dan Jenis Hewan Aqiqah

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

    Alhamdulillah, saat ini kita masih melanjutkan pembahasan hadiah di hari lahir. Kita sudah masuk pada pembahasan aqiqah. Pada kesempatan kali ini kami akan melanjutkan pada pembahasan jenis dan jumlah hewan yang diaqiqahi. Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.com.

    Perselisihan Ulama Mengenai Jumlah Hewan yang Diaqiqahi



    Apakah yang disembelih ketika aqiqah adalah satu ekor kambing atau dua ekor, di sini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan diaqiqahi dengan masing-masing satu kambing. Adapun Imam Asy Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Daud, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa laki-laki hendaknya diaqiqahi dengan dua ekor kambing, sedangkan perempuan dengan satu ekor kambing.[1] 

    Perselisihan di atas berasal dari perbedaan dalil dalam masalah tersebut. Ada beberapa dalil yang digunakan, yaitu sebagai berikut.

    Dalil pertama: Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha.

    عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ سَمِعْتُ أَحْمَدَ قَالَ مُكَافِئَتَانِ أَىْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ.

    Dari Ummu Kurz Al Ka'biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

    Dalil kedua: Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

    “Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1513. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

    Dua hadits ini dengan jelas membedakan antara aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing.

    Dalil ketiga: Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

    Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih)

    Namun dalam riwayat An Nasai lafazhnya,

    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِكَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ

    Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing dua ekor domba.” (HR. An Nasai no. 4219. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadit ini shahih)

    Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud, itulah yang jadi pegangan Imam Malik untuk menyatakan bahwa aqiqah anak laki-laki sama dengan anak perempuan yaitu dengan satu ekor kambing. Manakah yang tepat dalam masalah ini?

    Pendapat Terkuat dalam Masalah Jumlah Hewan Aqiqah


    Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,

    صحيح لكن في رواية النسائي : كبشين كبشين . وهو الأصح

    “Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud itu shahih. Akan tetapi dalam riwayat An Nasai dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih masing-masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shahih.”[2]

    Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,

    وَهَذِهِ الْأَحَادِيث حُجَّة لِلْجُمْهُورِ فِي التَّفْرِقَة بَيْن الْغُلَام وَالْجَارِيَة ، وَعَنْ مَالِك هُمَا سَوَاء فَيَعُقّ عَنْ كُلّ وَاحِد مِنْهُمَا شَاة ، وَاحْتَجَّ لَهُ بِمَا جَاءَ " أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَن وَالْحُسَيْن كَبْشًا كَبْشًا " أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَلَا حُجَّة فِيهِ فَقَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو الشَّيْخ مِنْ وَجْه آخَر عَنْ عِكْرِمَة عَنْ اِبْن عَبَّاس بِلَفْظِ " كَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ " وَأَخْرَجَ أَيْضًا مِنْ طَرِيق عَمْرو بْن شُعَيْب عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدّه مِثْله ، وَعَلَى تَقْدِير ثُبُوت رِوَايَة أَبِي دَاوُدَ فَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُرَدّ بِهِ الْأَحَادِيث الْمُتَوَارِدَة فِي التَّنْصِيص عَلَى التَّثْنِيَة لِلْغُلَامِ ، بَلْ غَايَته أَنْ يَدُلّ عَلَى جَوَاز الِاقْتِصَار ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ

    “Hadits-hadits ini (semacam hadits Ummu Kurz, -pen) menjadi argumen yang kuat bagi jumhur (mayoritas) ulama dalam membedakan aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Namun Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah pada keduanya itu sama. Imam Malik beralasan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud, namun tidak bisa dijadikan argumen. Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Abusy Syaikh dari jalur lain dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh “masing-masing dua ekor kambing”. Dikeluarkan pula dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya riwayat yang semisalnya. Berdasarkan riwayat Abu Daud tadi, hadits tersebut bukanlah menafikan hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan dengan tegas bahwa aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan bolehnya aqiqah kurang dari dua ekor kambing. Itulah maksudnya. Sehingga dari sini, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki, pen) bukanlah syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.”[3] Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[4].

    Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,

    عَنْ الْغُلَامِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ .هَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْقَائِلِينَ بِهَا وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ، وَعَائِشَةُ ، وَالشَّافِعِيُّ ، وَإِسْحَاقُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ .وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُول : شَاةٌ شَاةٌ عَنْ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ .

    “Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing dengan seekor kambing.”[5]

    Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

    فإن لم يجد الإنسان ، إلا شاة واحدة أجزأت وحصل بها المقصود ، لكن إذا كان الله قد أغناه ، فالاثنتان أفضل

    “Jika seseorang tidak mendapati hewan aqiqah kecuali satu saja, maka maksud aqiqah tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allah memberinya kecukupan harta, aqiqah dengan dua kambing (untuk anak laki-laki) itu lebih afdhol.”[6]

    Para ulama yang duduk di komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menerangkan,

    “Disunnahkan aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang semisal, sedangkan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Anak laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang semisal, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing” (HR. At Tirmidzi 794, Ahmad 5/40. At Tirmidzi menshahihkannya).

    Ada hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing satu ekor kambing” (HR. Tirmidzi 794, Ahmad 5/39). Namun dalam riwayat Abu Daud dan An Nasai dikatakan bahwa aqiqah yang dilakukan pada Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan dua ekor kambing. Inilah yang lebih afdhol. Adapun jika dikatakan sah dengan satu ekor kambing, jawabannya tetap sah sebagaimana berlaku pada daging sembelihan lainnya.[7]

    Adapun pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu diaqiqahi sebagaimana yang dipegang oleh Al Hasan Al Bashri dan Qotadah[8] adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan dalil yang mensyariatkan aqiqah bagi anak perempuan dengan seekor kambing.

    Kesimpulan, aqiqah pada anak laki-laki dianjurkan dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Namun jika tidak mampu, boleh pula bagi anak laki-laki dengan satu ekor kambing dan itu dianggap sah. Wallahu a’lam.

    Apakah Aqiqah Boleh dengan Selain Kambing?


    Jika memperhatikan dalil-dalil yang membicarakan aqiqah, maka kita dapati bahwa aqiqah dikhususkan dengan kambing atau domba, tidak dengan hewan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ummu Kurz,

    عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

    "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Dan juga dapat kita lihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.

    Sedangkan hadits muthlaq semacam dari Salman bin ‘Amir yang dikeluarkan dalam Shahih Bukhari,

    مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى

    “"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya", hadits muthlaq ini dibawa kepada hadits muqoyyad, yaitu semacam pada hadits Ummu Kurz. Sehingga dari sini, tidak boleh aqiqah kecuali dengan kambing saja. Tidak boleh dengan sapi, unta, atau bahkan ayam.

    Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini[9], berbeda dengan madzhab Hanafi, Hambali dan Syafi’iyah yang membolehkan dengan selain kambing, yaitu masih dibolehkan dengan al an’am (sapi dan unta)[10]. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Hewan Aqiqah Terlepas dari ‘Aib


    Hewan yang diaqiqahi tidak sah jika memiliki ‘aib, hewan tersebut harus terlepas dari ‘aib. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (٢٦٧)

    “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

    أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

    “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini bermakna selamat dari kejelekan (cacat)[11].

    Ketentuan Pemilihan Hewan Aqiqah


    Hewan aqiqah boleh jantan atau betina, namun yang lebih afdhol adalah jantan.
    Syarat hewan aqiqah sama dengan hewan udhiyah (hewan qurban).
    Lebih bagus memilih hewan aqiqah yang berwarna putih sebagaimana ketentuan dalam hewan qurban.
    Dianjurkan memilih yang gemuk, yang besar, dan yang paling bagus.
    Jika yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, maka hendaklah dua kambing tersebut semisal (di antaranya dalam umur, -pen[12]).[13]

    Bolehkah Aqiqah Diganti dengan Hanya Membeli Daging Saja?

    Hal ini tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu disembelih, tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing di pasar lalu dibagikan pada orang lain.

    Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,

    “Bolehkah penyembelihan kambing aqiqah diganti dengan membeli beberapa kilo daging ataukah aqiqah harus dengan jalan menyembelih?”

    Jawaban: Tidak boleh. Aqiqah harus dengan jalan menyembelih seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.[14]

    Demikian sajian kami mengenai aqiqah pada kesempatan kali ini. Tulisan ini masih kami lanjutkan pada tulisan terakhir yang berkaitan dengan pelaksanaan aqiqah. Semoga Allah mudahkan.

    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

    Diselesaikan di Panggang-GK, 7 Rajab 1431 H, 19/06/2010

    Artikel www.rumaysho.com



    [1] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Maliki, hal. 421, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H dan At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 4/314, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah.

    [2] Lihat Takhrij Syaikh Al Albani terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Shahih Abi Daud no. 2458.

    [3] Fathul Bari, 9/592

    [4] Subulus Salam, 4/335-336

    [5] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, 1405

    [6] Syarhul Mumthi’, 7/492.

    [7] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ketiga no. 2191, 11/438. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.

    [8] Lihat Al Mughni, 11/120.

    [9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/383.

    [10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11012, Mawqi’ ahlalhdeeth.

    [11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/100, Dar Ihya’ At Turots, 1392.

    [12] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 8/25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415.

    [13] Lihat ketentuan ini di Al Mughni, 11/120.

    [14] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kesepuluh no. 8052, 11/440. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota. 


    sumber: rumaysho.com
    READ MORE - Hadiah di Hari Lahir (6), Jumlah dan Jenis Hewan Aqiqah

    Profilku

    My photo
    Ternate, Maluku Utara, Indonesia
    Hanya seorang ibu biasa, alfaqiirotun ilalloh dan mengharapkan kesudahan yang baik, aamiin. Blog ini hanya sekedar untuk mengumpulkan artikel-arikel bermanfaat yang saya copy paste, semoga kehadirannya dapat membantu tersebarnya ilmu yang berlandaskan Al-Qur'aan dan As-Sunnah dengan pemahaman SalafushSholeh